Ilmu Statistik untuk Pilkada DKI Jakarta 2017
Pada tanggal
15 Februari 2017 akan menjadi sorotan tajam karena akan diselenggarakannya
pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di seluruh Indonesia meliputi 7
provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Tak terkeculai Provinsi DKI Jakarta yang
menjadi ibukota Negara Indonesia. Pilkada DKI Jakarta memang masih terbilang
lama, namun situasi persaingan politik saat ini sudah mulai terasa sangat sengit.
Pada Pilkada
DKI Jakarta 2017 di isi oleh tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur
yakni pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan Djarot Saiful
Hidayat, Anies Baswedan dengan Sandiaga Uno, serta Agus Harimurti Yudhoyono
dengan Sylviana Murni. Ketiga calon tersebut memiliki elektabiltas dan kekuatan
masing-masing sehingga memiliki peluang yang sama untuk menduduki kursi DKI 1. Bahkan
berbagai media massa, media cetak maupun media elektronik tak henti-hentinya
memberitakan panasnya Pilkada DKI Jakarta.
Tak hanya
peran media yang menonjol pada gelaran Pilkada DKI Jakarta, namun munculnya
berbagai lembaga survei dan perhitungan cepat (quick count) ikut mewarnai
gelaran tersebut. Setiap lembaga survei beramai-ramai merilis hasil surveinya
untuk dipublikasikan ke publik. Setiap hasil survei yang di sampaikan ke
masyarakat tentunya harus dapat di pertanggungjawabkan.
Namun sudah
bukan rahasia umum lagi jika sejumlah lembaga survei dan quick count sengaja di
pakai oleh para kandidat bakal calon dalam suatu pemilihan untuk mengetahui
sejauh mana popularitas dan elektabilitasnya. Oleh karena itu masyarakat tidak
boleh mudah percaya kepada calon yang hanya mengandalkan modal popularitas dan
elektabilitas yang dihasilkan survei yang cenderung manipulatif.
Mengenal Statistika dalam Pilkada
Ilmu statistik
atau statistika sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Namun banyak
yang mengatakan statistika hanyalah sekedar hitung-hitungan belaka. Padahal
jika kita lebih mendalaminya, statistika dapat berperan sangat penting dalam
berbagai aspek kehidupan, sebab dengan statistika kita dapat mengambil
keputusan dalam suatu ketidakpastian.
Statistika
dapat di ibaratkan sebagai pisau. Dengan pisau, kita dapat memotong sesuatu
yang membantu dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi jika pisau tidak digunakan
dengan semestinya maka dapat membahayakan orang lain. Begitupun dengan
statistika, jika kita menggunakannya dengan baik maka akan menguntungkan diri
sendiri dan orang lain. Namun jika kita menggunkannya untuk hal yang buruk maka
statistika juga dapat merugikan orang lain. Oleh karena itu statistika harus
digunakan dengan bijak dan sesuai dengan aturan.
Statistika
dapat mencakup seluruh aspek tak terkecuali aspek politik. Aspek politik yang
sangat erat hubungannya dengan statistika salah satunya ialah menyelesaikan permasalahan
dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Masyarakat semakin mengenal statistika
sejak adanya survei dan perhitungan cepat (quick count) dalam pilkada. Sebab
survei dan quick count menjadi salah satu tolak ukur pemikiran masyarakat
terhadap hasil pemilu. Berbagi lembaga survei dan statistik pun berlomba-lomba
guna memberikan layanan perhitungan cepat, melakukan survei opini publik
terhadap persoalan politik, konsultasi politik, hingga layanan pemenangan
kandidat dalam pemilu.
Lembaga survei
dan quick count dilandasi oleh ilmu statistik. Kegiatan statistik sendiri telah
di atur di dalam UU Nomor 16 tahun 1997 tentang statistik. Dalam pasal 1 ayat 1
dijelaskan bahwa statistik adalah data yang diperoleh dengan cara pengumpulan,
pengolahan, penyajian, dan analisis serta berbagai system yang mengatur
keterkaitan antar unsur dalam penyelenggaraan statistik. Sedangkan dalam ayat 4
di jelaskan bahwa kegiatan statistik adalah tindakan yang meliputi upaya
penyediaan dan penyebarluasan data, upaya pengembangan ilmu statistik, dan
upaya yang mengarah pada berkembangnya sistem statistik nasional.
Polemik Statistika dalam Pilkada
Pada
kenyataannya statistika banyak digunakan untuk hal-hal yang mementingkan
golongan-golongan tertentu. Hal ini dapat terlihat pada lembaga-lembaga survei
yang tidak kredibel dalam menerbitkan hasil perhitungannya. Tidak hanya berbeda
dari segi persentase angkanya, tetapi sampai kepada kemenangan calon yang
berbeda. Hal ini menimbukan keresahan masyarakat.
Polemik
tentang hasil survei dan quick count dalam pilkada yang dilakukan oleh beberapa
lembaga survei seharusnya dapat teratasi jika UU Nomor 16 tahun 1997 tentang
statistik di patuhi dengan baik. Lembaga survei harus mampu menjelaskan kepada
masyarakat dan melaporkan kepada BPS mengenai jumlah sampel, waktu pelaksanaan,
dan metode statistik yang di gunakan.
Kita berharap
bahwa statistik tidak berbalut politik yang mementingkan sebagian golongan. Sehingga
pada akhirnya dalam pilkada DKI Jakarta 2017 nanti, statistika menjadi alat
yang kredibel dan optimal dalam tahapan persiapan pilkada maupun tahapan penyelenggaraan
pilkada.